Selasa, 29 Oktober 2013

"Piring Kayu Dan Gelas Dari bambu''




SEORANG lelaki tua yang baru
ditinggal mati isterinya tinggal
bersama anaknya, Arwan dan
menantu perempuannya, Rina,
serta cucunya, Viva yang baru
berusia enam tahun. Keadaan
lelaki tua itu sudah uzur, jari-
jemarinya senantiasa gemetar
dan pandangannya semakin
hari semakin buram.
Malam pertama pindah ke
rumah anaknya, mereka makan
malam bersama. Lelaki tua itu
merasa kurang nyaman
menikmati hidangan di meja
makan. Dia merasa amat
canggung menggunakan
sendok dan garpu. Selama ini
dia gemar bersila, tapi di rumah
anaknya dia tiada pilihan.
Cukup sukar dirasakannya,
sehingga seringkali makanan
tersebut tumpah.
Sebenarnya dia merasa malu
seperti itu di depan anak
menantu, tetapi dia gagal
menahannya. Oleh karena
kerap sekali dilirik menantu,
selera makannyapun hilang.
Dan tatkala dia memegang
gelas minuman, pegangannya
terlepas.
Praaaaaannnnngggggg!!
Bertaburanlah serpihan gelas di
lantai.

Pak tua menjadi serba salah. Dia
bangun, mencoba memungut
serpihan gelas itu, tapi Arwan
melarangnya. Rina cemberut,
mukanya masam. Viva merasa
kasihan melihat kakeknya, tapi
dia hanya dapat melihat untuk
kemudian meneruskan
makannya.

“Esok ayah tak
boleh makan bersama kita,”
Viva mendengar ibunya
berkata pada kakeknya, ketika
kakeknya beranjak masuk ke
dalam kamar. Arwan hanya
membisu. Sempat anak kecil itu
memandang tajam ke dalam
mata ayahnya.
Demi memenuhi tuntutan Rina,
Arwan membelikan sebuah
meja kecil yang rendah, lalu
diletakkan di sudut ruang
makan. Di situlah ayahnya
menikmati hidangan sendirian,
sedangkan anak menantunya
makan di meja makan.
Viva
juga dilarang apabila dia
merengek ingin makan
bersama kakeknya. Air mata
lelaki tua meleleh mengenang
nasibnya diperlakukan
demikian. Ketika itu dia
teringat kampung halaman
yang ditinggalkan. Dia
terkenang isterinya. Lalu
perlahan-lahan dia berbisik:
“Miah… buruk benar layanan
anak kita pada abang.”

Sejak itu, lelaki tua merasa tidak
betah tinggal di situ. Setiap hari
dia dihardik karena
menumpahkan sisa makanan.

Dia diperlakukan seperti budak.
Pernah dia terpikir untuk lari
dari situ, tetapi begitu dia
teringat cucunya, dia pun
menahan diri. Dia tidak mau
melukai hati cucunya. Biarlah
dia menahan diri dicaci dan
dihina anak menantu.

Suatu
malam, Viva terperanjat melihat
kakeknya makan menggunakan
piring kayu, begitu juga gelas
minuman yang dibuat dari
bambu. Dia mencoba
mengingat-ingat, di manakah
dia pernah melihat piring
seperti itu. “Oh! Ya…” bisiknya.
Viva teringat, semasa
berkunjung ke rumah sahabat
papanya dia melihat tuan
rumah itu memberi makan
kucing-kucing mereka
menggunakan piring yang
sama!

“Tak akan ada lagi yang pecah,
kalau tidak begitu, nanti habis
piring dan mangkuk ibu,” kata
Rina apabila anaknya bertanya.

Waktu terus berlalu. Walaupun
makanan berserakan setiap kali
waktu makan, tiada lagi piring
atau gelas yang pecah. Apabila
Viva memandang kakeknya
yang sedang menyuap
makanan, kedua-duanya hanya
berbalas senyum.

Seminggu kemudian, sewaktu
pulang bekerja, Arwan dan
Rina terperanjat melihat anak
mereka sedang bermain
dengan kepingan-kepingan
kayu. Viva seperti sedang
membuat sesuatu. Ada palu,
gergaji dan pisau di sisinya.
“Sedang membuat apa sayang?
Berbahaya main benda-benda
seperti ini,” kata Arwan
menegur manja anaknya. Dia
sedikit heran bagaimana
anaknya dapat mengeluarkan
peralatan itu, padahal ia
menyimpannya di dalam
gudang. “Mau bikin piring,
mangkuk dan gelas untuk Ayah
dan Ibu. Bila Viva besar nanti,
supaya tak susah mencarinya,
tak usah ke pasar beli piring
seperti untuk Kakek,” kata
Viva.
Begitu mendengar
jawaban anaknya, Arwan
terkejut. Perasaan Rina terusik.
Kelopak mata kedua-duanya
basah. Jawaban Viva menusuk
seluruh jantung, terasa seperti
diiiris pisau. Mereka tersentak,
selama ini mereka telah berbuat
salah !

Malam itu Arwan menuntun
tangan ayahnya ke meja
makan. Rina menyendokkan
nasi dan menuangkan
minuman ke dalam gelas. Nasi
yang tumpah tidak dihiraukan
lagi. Viva beberapa kali
memandang ibunya, kemudian
ayah dan terakhir wajah
kakeknya. Dia tidak bertanya,
cuma tersenyum saja, bahagia
dapat duduk bersebelahan lagi
dengan kakeknya di meja
makan. Lelaki tua itu juga tidak
tahu kenapa anak menantunya
tiba-tiba berubah.
“Esok Viva
mau buang piring kayu dan
gelas bambu itu” kata Viva
pada ayahnya setelah selesai
makan. Arwan hanya
mengangguk, tetapi dadanya
masih terasa sesak.


MORAL Cerita : Hargailah
kasih sayang kedua orang
tua kita. Bapak Ibu kita
hanya satu,setelah
meninggal tidak akan ada
pengganti. Jadi, berbaktilah
kepada mereka selagi
hidup !

Tidak ada komentar:

Posting Komentar